Gue inget Fajar pernah bilang kalau suatu saat nanti dia udah nggak lagi ada, jangan pernah lupa kalau persahabatan kita tetep bakal sampai nanti, nggak tau kapan. Nggak tau apakah kita masih bisa menyaksikan matahari terbenam yang memang kadang jadi hal yang paling kita suka lakukan dari kecil.
Saat gue lagi santai di depan rumah, melihat beberapa anak kecil yang bermain ria dengan kubangan air sehabis hujan, gue tersenyum dan menuliskan beberapa deret kata dalam kertas usang yang gue pegang.
Tiba-tiba Fajar ngagetin gue yang lagi enak-enaknya nulis nggak jelas. ‘Lu nggak berangkat pagi? Apa tadi nggak sekolah?’
‘Kagak lagian nggak ada pelajaran sih jar, kan abis UN.’
‘Masih SD aja lu gitu? Gimana pas SMP kayak gue?’ Fajar agak nyindir gue dikit, yang berakhir gue cuekin.
‘Hahah iya juga sih, eh gimana habis ini jadi ninggalin gue sama anak-anak? Tega banget lo.’ Ujar gue sambil tetap fokus menulis.
Waktu Fajar tinggal beberapa minggu lagi sebelum kemudian ia pindah, yah gue tau sebagai temen kita harus pengertian dan support dia.
‘Mau gimana lagi, tapi kan kita masih temenan?’ Saat dia bilang itu, gue hanya bisa tersenyum.
‘Nggak ada yang bisa mengganti lo Jar, haha rasanya seperti semua kenangan muncul ketika lo mau pergi gini.’ Ucap gue.
‘Haha iya gue juga, sebenernya gue berat banget buat ninggalin kalian semua. Tapi apa boleh buat? Yang gue harap kalian bisa tetap kompak tanpa gue.’ Harapan Fajar kala itu gue harap bisa terwujud walaupun ternyata, rencana tak semulus jalan cerita.
‘Jar jadi inget omongan lo yang pengen terbang bebas kayak burung diatas sana.’ Gue menunjuk awan yang membiru kala itu.
Ngeliat dia tersenyum dan menatap langit, gue hanya bisa terdiam dan mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu dimana gue dan Fajar lagi asyik-asyiknya main layang-layang di pematang sawah.
Sore itu memang waktu yang pas untuk menikmati hari di persawahan, hal yang mungkin jarang dialami oleh orang banyak. Fajar dan gue sedang bersantai bermain layang – layang bersama, sama seperti apa yang udah gue jelasin tadi saat kita sedang memandangi langit yang begitu indah, tiba – tiba entah bagaimana Fajar membuka pembicaraan.
‘Lo tau nggak? Enak ya, seandainya kita bisa jadi burung untuk beberapa saat.’ Katanya yang sedang sibuk menurunkan layang – layang.
‘Emang kenapa? Biasa aja sih,’ jawab gue datar.
‘Ah elu mah, nggak bisa diajak bicara serius dikit.’ tandasnya kesal.
‘Jadi maksudnya?’ gue menatapnya bingung, sambil mencoba memahami apa yang sedang Fajar coba bilang ke gue waktu itu.
‘Bayangin nih, kalau seandainya kita jadi burung, kan punya sayap tuh?’ kata Fajar dengan melihat kearah gue, yang sedang memperhatikan langit nan indah sore itu.
Lalu ia melanjutkan ceritanya, dengan kesana kemari tanpa gue tangkep sekalipun, dan tanpa gue bisa ngerti apa yang anak ini sebenarnya coba kasih tau ke gue.
‘Nah sekarang bayangin, lo bisa terbang kemanapun yang lo mau, bisa kemana aja sesuka hati, dan lo bisa menghindar dari segala masalah sejenak.’
‘Udah, tapi kesannya kayak mimpi nggak sih?’
‘Apa salahnya bermimpi? Salah orang punya mimpi? pasti semua orang juga mengalami masa – masa dimana mereka berkhayal, tentang sesuatu yang nggak mungkin terjadi, seperti halnya gue yang pengen jadi burung, walau hanya beberapa saat.’ Ungkapnya.
‘Gue nggak kepikiran sampai kesitu Jar, mimpi dan harapan itu luas, kita bisa bayangin diri kita sebagai sesuatu yang kita mau, tanpa harus menunggu. Hanya perlu memejamkan mata, lalu berkhayal sesuatu hal yang mungkin nggak pernah terfikirkan oleh orang lain.’ Ucap gue.
‘Gue harap, bisa kayak gitu sih Dit.’ Fajar pun bercerita tentang banyak hal pada sore itu, dimana sebuah sore yang membuka pemikiran gue, tentang sebuah mimpi dan harapan, bahwa kita manusia boleh dan bisa bermimpi dimana saja, kapan aja dan nggak bakalan ada orang yang ngelarang.
Kita bisa jadi diri kita sendiri, kenapa harus malu dan ingin menjadi orang lain, sok pinter dan gengsi dengan apa yang kita miliki. Fajar bilang bahwa hidup itu singkat sesingkat kita membakar sebuah kertas yang penuh dengan coretan – coretan dari tinta yang terbakar dalam bara api, jadi sebisa mungkin nikmatin sebelum masanya habis.
Bayangin aja kertas-kertas itu adalah memori – memori atau kenangan terindah kita, dan coretannya ialah sebuah lamunan panjang yang tak terselesaikan, seperti halnya saat kita nggak bisa berhenti melihat masa lalu, dan bara api nya adalah waktu, dimana hanya waktu yang bisa melenyapkan semua kenangan itu, membakar kita kapan saja, hanya Tuhan yang tahu, kapan kita harus meninggalkan dunia yang penuh dengan banyak masalah ini.
Api yang kecil, mungkin akan mudah untuk dipadamkan dan mungkin juga bersahabat, ia bisa menjadi sinar penerang saat gelap datang, namun api yang terlanjur membesar bisa membuat semua kacau.
‘Pulang yuk, hampir mau maghrib.’ Dan kami pun mulai meninggalkan persawahan itu melewati sore hari yang panjang.
Bagi gue hari itu adalah hari dimana sejatinya mimpi bukan hanya mimpi, jika kita bisa mengendalikan kita bisa melakukan lebih. Perihal hidup lo yang ngejalanin dan orang lainlah yang mungkin dengan gampangnya ngomentarin, jadi nggak usah kaget, seenggaknya lo masih punya mimpi apa jadinya kalau orang nggak punya mimpi? Mungkin mereka cuma jiwa-jiwa yang kosong.